Rabu, 14 Maret 2012





". . .kadang pernah ku berpikir, meniti sejengkal demi sejengkal takdirku yang terus bergulir. .akankah semuanya akan terus seperti ini, hanya diselimuti hitam dan putih metafora anganku belaka. .?
. .kadang diantara sempit dan bahagianya jiwa, ku merasa menjadi orang paling menderita. .berpeluhkan ironi yang mencoba memimpikan sutera ditumpukan perca. .ku merasa hanya sekecil kerikil, diantara ribuan granit yang terus menyesaki lembah naluri. .
. .kadang pikiran-pikiran kolot terus membuntuti menerpa rengekan harpa reinkarnasi. .aku merasa bagaikan langit dan bumi yang tak kan pernah tuk saling menyentuh, diiringi kecupan dan pelukan pelangi bermandikan safir melodi. .
. .diantara jiwa yang terus bekerja melawan pekat kehidupan, tetap ku tegakkan mimpiku. .meski akhirnya ku kan mati sebagai pecundang. . ."


. .bagai hiasan dimensi ruang dan ketiadaan. .









Ruang Semu Bait Ketiadaan

Sejatinya cinta tak selalu datang.
Ketika harapanku akan mu telah lama hilang.

Sejatinya mimpiku ingin milikimu.
Ketika keangkuhanmu mundurkan langkahku.

Sejatinya jiwaku ingin memelukmu.
Ketika semua senyummu tak pernah lagi tersungging untukku.

Sejatinya hanya dirimu.
Ketika cinta memenuhi ruang kalbuku.


[ terperikan hati, terukirkan janji, hingga mimpi telah mati]














Sungguh hitam hati ini. .
Ketika hanya permintaan2 semu yg selalu datang. .
Merongrong sosok tubuh yg selama ini terus berjuang. .
Dengan butir peluh yg terus membasahi. .
Namun selalu tersenyum. .
Meski sang buah hati terus menyakiti. .

Pernahkah. .
Sekali saja kita peluk dia. .
Dan ucapkan terima kasih. .
Pernahkah. .
Sekali saja kita ungkapkan. .
Rasa sayang dan cinta kita padanya. .
Pernahkah. .
Sekali saja kita bahagiakannya. .
Dengan senyumnya. .

Untuk sebuah karunia yg tak pernah lekang ditelan zaman. .
Untuk sebuah perlindungan yg akan selalu ada disaat kita membutuhkan. .
Dan untuk seseorang. .
Yg selalu kita panggil. .IBU. . .




Sebuah surat untukNYA


Tahukah kau, ketika yang ada hanya sebuah harapan akan kebersamaan, namun selalu lekang oleh perbedaan.

Tahukah kau, ketika yang ada hanya rintihan kepedihan, namun kepada siapa akan mengadu.

Tahukah kau, ketika hanya ada setitik air, namun kepada siapa akan meminta.

Tahukah kau, ketika kesembuhan tak kunjung datang, tersiksa dalam derai tawa.

Tahukah kau, ketika beban sudah tak sanggup untuk dipikul, kepada siapa lagi meminta tolong.

Dan tahukah kau, ketika hanya kematian yang diharapkan, hanya untuk melepas semua airmata yang tak tertahankan.


19.22:31.5.010





Aku bukanlah aku.
Ketika hanya ada sebuah kesemuan.
Takkan pernah terpandang kesenangan.
Meski tetes peluh banjiri jiwa.

Aku bukanlah aku.
Saat malam tak lagi bersinar dengan bintang gemintang.
Menjalar aura keheningan dengan sendunya.
Meruntuhkan asa, harapan, dan impian.

Aku bukanlah aku.
Bukan juga kau, dia, maupun mereka.
Tapi aku adalah setitik noda hitam diantara putih.












Hidupku.
Hanya seonggok rongsokan yang tak pernah tersentuh.
Lekang berpeluhkan jelaga derita.

Hidupku.
Hanya hamparan pasir yang menyengat terik.
Tak setetes pun embun singgah untuk menari.

Hidupku.
Hanya sebait mimpi yang sulit untuk tercapai.
Sejuta kata untuk satu kata bahagia.














Kau setetes embun. .
Diantara jutaan pasir yang mengelilingi. .
Kau secercah cahaya. .
Diantara gelap yang menggunung. .
Kau kenyataan. .
Diantara mimpi yang tak pernah terjadi. .
Kau puisi. .
Diantara kesunyian yang menggerogoti. .

Dan kau adalah kau. .
Dengan sejuta pesonamu. .














Aku hanya ingin kau tahu.
Dan aku pun tak mengharapkan kau membalasnya.
Atau aku harus memilikimu dan bersamamu.
Aku hanya ingin kau benar-benar tahu.
Hanya itu.!

Bahwa jauh dari tempat kau berpijak sekarang.
Jauh dari sekeliling orang yang ada di dekatmu.
Dan jauh dari kesempurnaan.

Bahwa aku menyukaimu. .











Kata terukir indah.
Menata langkah jalanan yg masih lemah.
Berselimutkan janji yg mulai lelah.

Kata selalu terukir indah.
Dalam diam dan susah.
Mengakar pada satu falsafah.
Keheningan hati untuk dia yg begitu indah.
















Rintihan pilu menembus malam

Fajar belum lagi menyingsing untuk menyapa pagi.
Dingin masih menyanyat menembus tulang.
Dan malam ini.
Dengan peluh membasah segenap jiwa yang penuh ketegaran.
Tampaklah jerit dua kaki yang terseok lemah.
Namun tetap berjuang.
Hanya untuk terus berjuang.
Meski rintihan malam tak pernah lekang menghapus beban.
Untuk sebuah pengakuan.
Bukan penghormatan.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar