". .
.kadang pernah ku berpikir, meniti sejengkal demi sejengkal takdirku yang terus
bergulir. .akankah semuanya akan terus seperti ini, hanya diselimuti hitam dan
putih metafora anganku belaka. .?
. .kadang
diantara sempit dan bahagianya jiwa, ku merasa menjadi orang paling menderita.
.berpeluhkan ironi yang mencoba memimpikan sutera ditumpukan perca. .ku merasa
hanya sekecil kerikil, diantara ribuan granit yang terus menyesaki lembah
naluri. .
. .kadang
pikiran-pikiran kolot terus membuntuti menerpa rengekan harpa reinkarnasi. .aku
merasa bagaikan langit dan bumi yang tak kan pernah tuk saling menyentuh,
diiringi kecupan dan pelukan pelangi bermandikan safir melodi. .
. .diantara
jiwa yang terus bekerja melawan pekat kehidupan, tetap ku tegakkan mimpiku.
.meski akhirnya ku kan mati sebagai pecundang. . ."
. .bagai hiasan dimensi ruang dan ketiadaan. .
Ruang
Semu Bait Ketiadaan
Sejatinya cinta tak selalu datang.
Ketika harapanku akan mu telah lama
hilang.
Sejatinya mimpiku ingin milikimu.
Ketika keangkuhanmu mundurkan
langkahku.
Sejatinya jiwaku ingin memelukmu.
Ketika semua senyummu tak pernah lagi
tersungging untukku.
Sejatinya hanya dirimu.
Ketika cinta memenuhi ruang kalbuku.
[ terperikan hati, terukirkan janji,
hingga mimpi telah mati]
Sungguh hitam hati ini. .
Ketika hanya permintaan2 semu yg selalu datang. .
Merongrong sosok tubuh yg selama ini terus
berjuang. .
Dengan butir peluh yg terus membasahi. .
Namun selalu tersenyum. .
Meski sang buah hati terus menyakiti. .
Pernahkah. .
Sekali saja kita peluk dia. .
Dan ucapkan terima kasih. .
Pernahkah. .
Sekali saja kita ungkapkan. .
Rasa sayang dan cinta kita padanya. .
Pernahkah. .
Sekali saja kita bahagiakannya. .
Dengan senyumnya. .
Untuk sebuah karunia yg tak pernah lekang ditelan
zaman. .
Untuk sebuah perlindungan yg akan selalu ada
disaat kita membutuhkan. .
Dan untuk seseorang. .
Yg selalu kita panggil. .IBU. . .
Sebuah
surat untukNYA
Tahukah kau, ketika yang ada hanya sebuah harapan
akan kebersamaan, namun selalu lekang oleh perbedaan.
Tahukah kau, ketika yang ada hanya rintihan
kepedihan, namun kepada siapa akan mengadu.
Tahukah kau, ketika hanya ada setitik air, namun
kepada siapa akan meminta.
Tahukah kau, ketika kesembuhan tak kunjung datang,
tersiksa dalam derai tawa.
Tahukah kau, ketika beban sudah tak sanggup untuk
dipikul, kepada siapa lagi meminta tolong.
Dan tahukah kau, ketika hanya kematian yang
diharapkan, hanya untuk melepas semua airmata yang tak tertahankan.
19.22:31.5.010
Aku bukanlah aku.
Ketika hanya ada sebuah kesemuan.
Takkan pernah terpandang kesenangan.
Meski tetes peluh banjiri jiwa.
Aku bukanlah aku.
Saat malam tak lagi bersinar dengan bintang
gemintang.
Menjalar aura keheningan dengan sendunya.
Meruntuhkan asa, harapan, dan impian.
Aku bukanlah aku.
Bukan juga kau, dia, maupun mereka.
Tapi aku adalah setitik noda hitam diantara putih.
Hidupku.
Hanya seonggok rongsokan yang tak pernah
tersentuh.
Lekang berpeluhkan jelaga derita.
Hidupku.
Hanya hamparan pasir yang menyengat terik.
Tak setetes pun embun singgah untuk menari.
Hidupku.
Hanya sebait mimpi yang sulit untuk tercapai.
Sejuta kata untuk satu kata bahagia.
Kau setetes embun. .
Diantara jutaan pasir
yang mengelilingi. .
Kau secercah cahaya. .
Diantara gelap yang
menggunung. .
Kau kenyataan. .
Diantara mimpi yang tak
pernah terjadi. .
Kau puisi. .
Diantara kesunyian yang
menggerogoti. .
Dan kau adalah kau. .
Dengan sejuta pesonamu. .
Aku hanya ingin kau tahu.
Dan aku pun tak
mengharapkan kau membalasnya.
Atau aku harus memilikimu
dan bersamamu.
Aku hanya ingin kau
benar-benar tahu.
Hanya itu.!
Bahwa jauh dari tempat
kau berpijak sekarang.
Jauh dari sekeliling
orang yang ada di dekatmu.
Dan jauh dari kesempurnaan.
Bahwa aku menyukaimu. .
Kata terukir indah.
Menata langkah jalanan yg
masih lemah.
Berselimutkan janji yg
mulai lelah.
Kata selalu terukir
indah.
Dalam diam dan susah.
Mengakar pada satu
falsafah.
Keheningan hati untuk dia
yg begitu indah.
Rintihan
pilu menembus malam
Fajar belum lagi menyingsing untuk menyapa pagi.
Dingin masih menyanyat menembus tulang.
Dan malam ini.
Dengan peluh membasah segenap jiwa yang penuh
ketegaran.
Tampaklah jerit dua kaki yang terseok lemah.
Namun tetap berjuang.
Hanya untuk terus berjuang.
Meski rintihan malam tak pernah lekang menghapus
beban.
Untuk sebuah pengakuan.
Bukan penghormatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar